Partai politik merupakan salah satu elemen penting dalam sistem demokrasi modern. Partai politik memiliki peran vital dalam mempengaruhi dan mengarahkan politik suatu negara. Menurut R.H. Soltau (1961:199) partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisasi yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang peran dan fungsi partai politik sangatlah penting bagi masyarakat untuk memahami dinamika politik di negara mereka.
Partai politik pada dasarnya diciptakan bagi siapapun untuk berkuasa secara legal. Menjelang tahun panas 2024, partai politik akan menjadi ajang unjuk wajah demi memenangkan suara rakyat, dan berkuasa untuk 5 tahun kedepan. Perdebatan mengenai ide atau gagasan dari masing-masing partai politik menjadi konsumsi masyarakat lewat diskursus-diskursus yang dihadirkan dalam ranah publik. Menarik untuk dibahas, terutama terkait dengan perdebatan ide atau gagasan yang dibawa oleh masing-masing partai.
Seringkali yang menjadi kekurangan dari sistem multipartai di Indonesia adalah perihal ide atau gagasan yang dibawa tidak jelas. Partai dengan label ideologi nasionalis seperti PDI-P atau demokrat akan membawa ide terkait keterwakilan masyarakat dalam pemerintahan yang akan dilakukan secara demokratis. Sementara partai dengan ideologi agama seperti PPP atau PBB akan membawa ide terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang dapat diwujudkan dengan nilai-nilai agama. Tidak ada batas jelas antara ide-ide yang dibawa oleh partai politik tersebut. Misalnya, apa yang menjadi pembeda antara PDI-P dengan Demokrat atau dengan NasDem? Padahal kedua partai ini sama-sama punya frasa demokrasi di namanya, tetapi kenapa ketiga partai ini justru berdiri sendiri? Pada akhirnya, sistem ini akan membuat masyarakat tidak mendapatkan kejelasan terkait dengan ide yang dibawa oleh masing-masing partai politik.
Salah satu indeks terkemuka dalam hal ini adalah “The Democracy Index” yang diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) setiap tahun. Menurut “The Democracy Index” 2021 yang diterbitkan oleh EIU, Norwegia adalah negara dengan sistem demokrasi terbaik di dunia. Norwegia mencatat jumlah partai politik di negara tersebut cenderung sedikit, yaitu hanya berjumlah 9 partai politik. Ide yang dibawa oleh 9 partai politik ini pun sangat jelas, seperti partai Konservatif (Høyre) yang membawa ide perihal perekonomian pasar bebas, partai Progres Norwegia (Fremskrittspartiet) yang membawa ide perihal kebebasan individu, dan beberapa partai lainnya. Beda halnya dengan Indonesia, yang bahkan kita tidak mendapat batas ide yang jelas terkait bedanya partai HaNura dan partai Gelora, serta partai-partai lain.
Berdasarkan data dari KPU, partai politik yang dapat mengikuti Pemilu 2024 ada sebanyak 24 partai politik, diikuti oleh partai-partai baru. Kemunculan partai-partai baru ini menjadi hal yang harus dikritisi, karena partai-partai baru yang muncul justru digagas oleh politisi-politisi, yang sudah berkecimpung lama didalam dunia politik. Menjadi pertanyaan, apakah gagasan yang dibawa oleh partai politik baru menjadi ajang untuk membawa gagasan yang baru, ataukah ajang untuk menggunakan partai sebagai kendaraan politik dan mengakomodasi kepentingan lama?
Pada dasarnya demokrasi adalah pasar ide. Sebagai rakyat, saya justru tertarik melihat dan menganalisis pertengkaran ide dalam meja perdebatan, ketimbang melihat politisi yang berebut ‘remah-remah roti’ dibawah meja perjamuan. Konsepsi ide yang dipertengkarkan pun harus jelas dan berkualitas. Kemunculan banyaknya partai-partai di Indonesia justru mengakibatkan rakyat terhanyut dalam 2 hal, yaitu surplus gagasan atau justru pemborosan. Terlalu banyak kemunculan ide-ide dalam partai politik justru seakan-akan membuat dinamika politik berada dalam kondisi surplus gagasan. Padahal ide-ide yang muncul tidak diimbangi dengan kualitas, dan pada akhirnya hal tersebut akan berujung pada pemborosan pikiran. Misalnya, partai politik yang menjual partainya dengan label ‘partai orang miskin’ atau ‘partai wong cilik’ dan berharap orang-orang dalam standard ekonomi yang kurang mampu akan memilih mereka. Padahal mereka hanya mengeksploitasi orang-orang kecil dengan memasukkan frasa ‘orang-orang kecil’ kedalam ide yang mereka usung. Hal ini mengakibatkan eksploitasi tersebut berjalan dengan mulus, dan ‘terlihat baik’.
Ide yang diusung oleh partai tentunya akan menurun pada ide yang akan diusung oleh kadernya. Menjelang perhelatan pemilu, kader partai politik akan berkampanye menyampaikan perihal ide yang akan direalisasikan apabila terpilih. Seringkali dalam masa kampanye, kader partai politik akan ‘blusukan’ ke rumah-rumah warga, membeli dagangan mereka, dan berbincang sepatah dua kata. Kader partai politik ini akan menggunakan ketenaran mereka yang selama ini mereka dapat dari media sosial untuk meraup jumlah masa yang banyak pada saat kampanye. Janji yang mereka tawarkan hanya untuk memberikan bansos, kredit rumah tanpa bunga, mengatasi banjir, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, sistem ini akan mempersempit ruang gerak rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan janji yang belum tentu tercapai, ketimbang berdasarkan ide yang diusung.
Keberadaan partai politik tanpa ide yang jelas dan berkualitas, pada akhirnya akan menjadi perbudakan bagi demokrasi Indonesia. Perbudakan ini pada satu titik akan mengakibatkan amarah rakyat yang melampaui treshold, dan krisis ide partai politik akan mencapai pada titik klimaks. Dalam bahasa psikologis, Erich Fromm, penulis Memiliki dan Menjadi (1988) menegaskan, “Manusia dapat mengadaptasikan dirinya ke dalam perbudakan, tetapi ia bereaksi dengan cara menghancurkan kualitas intelektual dan moralnya.”
Referensi
Rachman, M. Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat. Depok: Koekoesan
Indonesia, CNN. “Partai Baru vs Partai Lama: Jualan Apa?”, Youtube, diunggah oleh CNN Indonesia, 22 November 2022, https://www.youtube.com/watch?v=_bka0mCxpVs